-->


KBR dan YLKI Gelar Dialog Nasional Terkait Penggunaan BBM Ramah Lingkungan

Kamis, 04 Maret 2021 / 19:06
Meeting Zoom : Screenshot layar dalam aplikasi meeting Zoom, saat dialog nasional tentang penggunaan BBM ramah lingkungan, yang diselenggarakan oleh KBR bersama YLKI.


e-news.id

Jakarta - Mengangkat tema "Mendorong Penggunaan BBM Ramah Lingkungan Guna Mewujudkan Program Langit Biru", Kantor Berita Radio (KBR) bersama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menggelar dialog nasional secara daring, selama dua hari berturut-turut pada pada 2 dan 3 Maret 2021, Kamis (4/3/2021).

Dialog secara daring melalui aplikasi meeting Zoom tersebut, menghadirkan banyak narasumber yang berkompeten di bidangnya masing-masing, diantaranya, Ketua Pengurus Harian YLKI Abadi Tulus, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Dasrul Chaniago dan Editor Senior KBR Ary Rony Sitanggang.

Selain para nara sumber tersebut, dialog yang dipandu oleh host Ines Nirmala, juga diikuti oleh para jurnalis media baik cetak, online dan radio. Ada pula Pers Mahasiswa (Persma) dan para blogger yang sejatinya peduli dengan isu terkait lingkungan hidup.


Host Ines Nirmala, sebelum dialog dibuka, menjelaskan, pertemuan secara daring dalam aplikasi meeting Zoom tersebut, juga akan diperlombakan. Lomba yang diadakan adalah penulisan bertajuk berita atau artikel yang diapload melalui website yang telah disediakan dengan hadiah jutaan rupiah. Selanjutnya, Ines Nirmala mempersembahkan para nara sumber untuk memaparkan narasinya dalam dialog tersebut.

[cut]
Meeting Zoom : Screenshot layar dalam aplikasi meeting Zoom, saat dialog nasional tentang penggunaan BBM ramah lingkungan, yang diselenggarakan oleh KBR bersama YLKI.

Dalam paparan narasinya ketika menjadi narasumber dalam dialog nasional tersebut, Abadi Tulus, menjabarkan beberapa hal yang masuk dalam perhatiannya berkaitan dengan penggunaan BBM ramah lingkungan dan program langit biru. Menurutnya, terdapat poin-poin yang perlu diperhatikan.

"Semangat masyarakat konsumen untuk menggunakan BBM non Premium, sebenarnya sudah cukup baik. Setidaknya masyarakat sudah punya semangat tinggi untuk menggunakan pertalite. Agar semangat ini makin mengkristal, masyarakat perlu adanya insentif harga pada produk BBM non premium, sehingga harga BBM seperti pertalite, Pertamax, atau bahkan pertamax turbo bisa lebih terjangkau," kata Abadi Tulus.


Selain itu, hal lain yang dirasa cukup penting, ungkap Abadi Tulus, terkait harga jual suatu barang di masyarakat. Dimana, tipikal konsumen di Indonesia, selagi masih ada barang murah, maka masyarakat akan tergiring kemauannya untuk membeli yaang murah.

"Hal ini sangat penting dikarenakan pengguna ranmor pribadi dalam mengisi BBM masih sangat sensitif harga. Jika di pasaran masih ada produk yang lebih murah maka akan mencari produk yang lebih murah (premium)," ungkapnya.

[cut]
Meeting Zoom : Screenshot layar dalam aplikasi meeting Zoom, saat dialog nasional tentang penggunaan BBM ramah lingkungan, yang diselenggarakan oleh KBR bersama YLKI.

Abadi Tulus tidak menampik, kalau di beberapa daerah tingkat kualitas udara masih dapat dikatakan baik. Namun, hal itu jangan membuat pemerintah setempat anggap enteng isu terkait lingkungan, mengingat, perkembangan sarana dan prasarana transportasi yang melaju cepat. Seperti saat ini, diketahui, beberapa daerah telah terhubung secara langsung via jalan tol.

"Kendati indeks kualitas udara di masing-masing kota (Ambon, Pekanbaru, Medan, Lampung) masih dianggap baik; namun hal ini jangan membuat lengah bagi masing masing pemda dan pemerintah pusat, untuk menerapkan BBM yang ramah lingkungan. Menginngat, khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, sudah terkoneksi oleh jalan tol. Hal ini akan mendorong masyarakat melelakukan perjalanan dengan ranmor pribadi, karena dianggap lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Jika fenomena ini makin kuat, maka dampaknya akan terjadi distribusi polusi di daerah daerah, oleh maraknya penggunaan ranmor pribadi," Tuturnya.


Oleh karena itu, tambahnya, fenomena ini harus disikapi dan diantisipasi dengan mewajibkan penggunaan BBM yang lebih bagus kualitasnya. Bukan lagi menggunakan premium. Pemerintah harus memanfaatkan momen ini untuk mewujudkan penggunaan BBM yang ramah lingkungan. Jangan sampai pemerintah terlambat mengantisipasi, sehingga wabah polusi akan terjadi di daerah daerah yang terkoneksi jalan tol.

"Dari sisi kesadaran publik, harus terus dikampanyekan secara masif tentang dampak negatif penggunaan energi fosil, khususnya BBM; bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Sebab kesadaran masyarakat terhadap hal ini masih sangat minim atau rendah," tutupnya.

[cut]
Meeting Zoom : Screenshot layar dalam aplikasi meeting Zoom, saat dialog nasional tentang penggunaan BBM ramah lingkungan, yang diselenggarakan oleh KBR bersama YLKI.

Dalam sesi tanya jawab, awak media e-news.id, sempat mempertanyakan pendapatnya, terkait dengan BBM yang berasal dari nabati atau yang kini diketahui sebagai Bio Solar dan tentang penggunaan mobil listrik, dimana seperti yang dibahas selama ini, kenderaan berbahan bakar listrik lebih ramah lingkungan dari pada yang menggunakan BBM.

Abadi Tulus menjawab, ia sangat mendukung pemerintah dalam mengembangkan sumber bahan bakar non fosil. Karenanya, selain sistem pembakaran yang lebih baik, bahan bakar nabati juga dalam proses penambangannya juga lebih sedikit merusak alam atau lingkungan.

"Saat ini yang kita ketahui Bio Solar dari buah sawit sudah B30, kalau saya sangat mendukung pemerintah untuk terus mengembangkan bahan bakar nabati ini, karena memang lebih ramah lingkungan, apalagi kalau nanti sampai B100, bisa lebih baik lagi bagi lingkungan, ketimbang bahan bakar fosil seperti BBM," jawabnya.


Soal kendaraan berbahan bakar listrik, Abadi Tulus, masih berpendapat perlu banyak hal yang harus dibenahi. Ia menjelaskan, untuk menghasilkan listrik sebagai sumber bahan bakar mobil tersebut, harus ada ribuan ton batu bara yang ditambang lalu kemudian dibakar sebagai proses pengadaan tenaga listrik yang diperlukan.

"Memang benar, mobil listrik itu ramah lingkungan, tapi kalau saya memandang, ini persoalan Hulu-hilir. Untuk menghasilkan tenaga listrik, kita harus menambang batu bara lalu dibakar baru bisa menghasiokan tenaga listrik untuk bahan bakar mobil itu, artinya, di hilirnya, benar ramah lingkungan, tapi hulunya, kan tidak ramah lingkungan juga, jadi harus ada yang dibenahi lagi, misalnya menggunakan tenaga air atau angin, begitu," cetusnya. (RFS).
Komentar Anda

Terkini