Laporan pengaduan : Didampingi kuasa hukumnya, LW membuat laporan pengaduan ke Mapolres Aceh Tenggara, atas peristiwa dugaan pengeroyokan terhadap anaknya. |
Kutacane - Orang tua mana yang tidak sedih hatinya, ketika melihat anak kandungnya, dianiaya secara bersama-sama atau dengan istilah lain dikeroyok, hingga babak belur sekaligus trauma dan sempat dirawat di sebuah fasilitas kesehatan karena mengalami luka-luka?
Pasal ini lah, yang membuat seorang ibu berinisial LW (44) warga Kecamatan Bukit Tusam, Aceh Tenggara, akhirnya memilih untuk mendatangi kantor polisi, guna meminta keadilan yang seadil-adilnya bagi sang buah hatinya.
Wanita paruh baya itu, mendatangi kantor penegak hukum, untuk membuat laporan pengaduan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Mapolres Aceh Tenggara. Sesuai dengan Surat Tanda Terima Laporan Pengaduan (STTLP) bernomor : STTLP/186/IX/2021/RES ACEH TENGGARA/POLDA ACEH, tertanggal 17 September 2021.
Kepada e-news.id, sang ibu yang hanya seorang pedagang kecil di Pasar Pagi, Aceh Tenggara, menceritakan bagaimana awal peristiwa dugaan pengeroyokan yang dialami putranya berinisial AS, saat menjalani proses belajar mengajar di salah satu pondok pesantren berinisial DD di Kabupaten Aceh Tenggara.
Kronologinya, pada Kamis 9 September 2021, korban AS, hendak menunaikan Sholat Ashar di pondok pesantren yang beralamat di Kecamatan Lawe Sumur, Aceh Tenggara. Namun, ketika ia hendak menjalankan ibadahnya tersebut, korban diperintahkan untuk bergeser mengisi shaf paling depan oleh kakak kelasnya.
"Waktu itu, anak saya ini mau Sholat Ashar, terus dia disuruh mengisi shaf depan oleh Ari nya (kakak kelas-red), tapi dia tidak mau, karena dia kan masih pun kelas 3 SMP, sementara ada yang lebih tua di sana untuk mengisi shaf depan itu," kata LW.
Bersambung>>
[cut]
Laporan pengaduan : Didampingi kuasa hukumnya, LW membuat laporan pengaduan ke Mapolres Aceh Tenggara, atas peristiwa dugaan pengeroyokan terhadap anaknya. |
Merasa masih banyak yang lebih dewasa untuk mengisi shaf terdepan dalam ibadah Sholat Ashar tersebut, korban pun memilih untuk tetap dalam barisannya. Diduga tak terima dengan pilihan AS yang tetap dalam shafnya, seorang senior di pesantren tersebut, lantas mengancamnya dengan mengatakan akan memberinya hukuman.
"Karena gak mau dia ngikut kata si Ari nya itu, terus pun dia diancam mau dipukuli setelah sholat, ya ketakutan lah anak saya ini, siapa yang tidak ketakutan diancam begitu oleh abang kelasnya yang kelas 3 SMA," ujarnya.
Baca juga : Pemkab 'Tutup Mata', Warga Mengeluh Soal Pungli Jembatan Darurat Sekitar Proyek PUPR Agara
Seusai mengerjakan ibadah, AS yang merasa ketakutan atas ancaman dari kakak kelasnya atau yang biasa disebut Ari dalam istilah sapaan lokal bagi laki-laki di sana, korban pun memilih untuk kabur keluar dari Ponpes. Ia tidak sendirian, AS bersama dengan 4 orang temannya, berlari keluar menjauh dari lokasi tempatnya mengenyam pendidikan formal maupun agama.
"Jadi, sangking takutnya dia mau dipukuli oleh kakak kelasnya setelah sholat, dia kabur sama kawan-kawannya keluar dari pesantren itu, mereka berlima kabur pun, jadi mereka keluar dari sana," ucap ibu 5 anak itu.
Namun, pada Jumat 10 September 2021 sekira pukul 02:00 WIB dini hari, mereka berlima dijemput dari dalam sebuah warung internet oleh para Ari (kakak kelas-red), dan mengatakan bahwa kehadiran AS dan teman-temannya sudah ditunggu oleh kepala pondok pesantren, atau yang biasa disapa dengan sebutan Abi.
"Lalu, lewat tengah malam gitu, mereka ini dapat sama Ari nya. Ari nya bilang anak saya sudah di tunggu sama Abi di pondok pesantren, mereka harus kembali, begitu lah cakap nya ke anak saya," tutur wanita berhijab tersebut.
Bersambung>>
[cut]
Bukannya langsung di bawa kembali ke pondok pesantren, kelima anak di bawah umur ini malah diberhentikan di tengah perjalanan. Entah siapa yang memulai lebih dulu, para Ari diduga memukuli AS dan teman-temannya secara bersama-sama, dengan tangan kosong dan kayu, hingga babak belur.
"Terus belum sampai di pesantren, mereka ini dihajar lah sama Ari nya itu, ada yang pakai tangan sama kaki dan ada juga yang pakai pelepah pohon pinang yang keras itu, sampai lebam-lebam lah anak ku ini," keluh ibu korban.
Baca juga : Tabrakan Maut Saat Bangunkan Warga Sahur, Ortu Korban : Sempat Bilang Gak akan Pakai Baju Lebaran Tahun ini
Setelah dirasa cukup dalam menganiaya para korban saat itu, sekumpulan Ari yang diperkirakan berjumlah belasan orang tersebut, membawa AS dan rekan-rekannya untuk dikembalikan ke pesantren. Sekembalinya di asrama para korban pun digiring ke kamar masing-masing.
Tidak berakhir sampai di situ saja, tindakan fisik kembali terjadi dan korbannya pun masih sama, yaitu AS dan teman-temannya. Mereka untuk kesekian kali menerima pukulan bertubi-tubi dari para Ari hingga mengalami trauma yang cukup mendalam dan memilih untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Bukan malam itu saja, siangnya, ketika sedang ambil makan di dapur pesantren, anak saya dan teman-temannya kembali dipukuli oleh Ari nya, kali ini ada yang pakai batang sapu, hingga patah batang sapu itu. Karena sudah tidak tahan, anak saya pun lari dari sana pulang ke rumah dan mengadukan semuanya kepada saya," cetusnya.
Setelah mendengar semua cerita korban, LW pun langsung membawa anaknya untuk berobat sekaligus melakukan visum di sebuah klinik di pusat Kota Kutacane. Di sana, korban sempat dirawat oleh tenaga medis dan selanjutnya di bawa pulang guna perawatan medis di rumah.
Bersambung>>
[cut]
Selanjutnya, ibu korban mendatangi tempat anaknya menimba ilmu selama ini, untuk mempertanyakan bagaimana tindakan kekerasan dapat terjadi di sana dan seperti apa, pertanggungjawaban pihak Ponpes atas kejadian yang dialami AS dan teman-temannya.
Sesampainya di sana, LW bertemu dengan pengurus Ponpes dan ia pun menceritakan semua kejadian tersebut. Namun sayang, tanggapan dari pihak Ponpes dirasanya cukup datar yang hanya meminta waktu 1-2 hari untuk menyelesaikan persoalan yang seharusnya tidak boleh terjadi itu.
Satu dua hari pun berlalu, tidak ada kejelasan sampai dimana persoalan peristiwa penganiayaan tersebut. Berikutnya, LW kembali mendatangi Ponpes DD bersama dengan penghulu (kepala desa-red) setempat guna mencari keadilan atas apa yang dialami anak ketiganya itu.
Tanggapan dari pihak Ponpes DD juga masih sama, yaitu, diminta untuk menunggu satu atau dua hari ke depan. Ibu korban pun kembali ke rumah dengan harapan hampa, tanpa adanya kejelasan soal rasa keadilan yang ia minta terkait dugaan penganiayaan secara bersama-sama itu.
Baca juga : Pemkab 'Tutup Mata', Warga Mengeluh Soal Pungli Jembatan Darurat Sekitar Proyek PUPR Agara
Sepekan berlalu, LW yang merasa sudah tidak tahan, akhirnya memilih membuat laporan kepada pihak kepolisian. Didampingi oleh kuasa hukumnya Rahimin Sembiring SH & Rekan, LW bersama orang tua siswa lainnya yang turut menjadi korban penganiayaan di Ponpes DD, mencari keadilan di Mapolres Aceh Tenggara. (RFS).
Catatan redaksi : Beberapa informasi di dalam pemberitaan ini sengaja disamarkan demi kepentingan terbaik bagi korban dan terduga pelaku (di bawah umur). Selain itu, untuk kepentingan keberimbangan isi pemberitaan, berita ini juga masih memerlukan upaya konfirmasi lebih lanjut, dari berbagai pihak yang bersangkutan.