-->


Menelisik Peraturan Bappebti Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Aset Kripto : Antara Dilema dan Harapan

Kamis, 16 Januari 2025 / 11:55
Opini Hukum : Menelisik Peraturan Bappebti Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Aset Kripto, dalam berbagai perspektif untuk masa depan keuangan digital, Kamis (16/01/2024). (Foto : Lucas Abraham Sembiring/e-news.id).


e-news.id 

Jakarta - Sejak berlakunya Peraturan Bappebti Perba Nomor 1 Tahun 2025, exchange kripto (CEX) lokal melakukan penyesuaian dengan menghapus beberapa aset kripto yang tidak termasuk dalam 851 aset yang terdaftar di Bappebti. Penyesuaian ini menuai tanggapan negatif dari sejumlah trader, investor, dan pengamat kripto di Indonesia. Beberapa pihak bahkan berpendapat bahwa kebijakan ini dapat “mematikan” industri kripto, khususnya Initial Coin Offering (ICO) yang selama ini bergantung pada euforia tanpa didukung oleh utilitas dan dasar yang kuat.

Tidak jarang, CEX lokal hanya membutuhkan waktu yang singkat untuk melisting ICO. Sebagai contoh, pada tahun 2023, token meme Pepe sempat menjadi fenomena yang mendapatkan perhatian besar dari para trader dan investor di seluruh dunia. Token ini mengalami kenaikan harga yang sangat tinggi, dan seluruh CEX diseluruh dunia, termasuk Binance yang dikenal sebagai salah satu "Raja" Cex yang terbesar, berlomba-lomba untuk melisting Pepe.


Euforia ini tentu menjadi peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan besar bagi bursa kripto tersebut, tanpa memperhatikan apakah Pepe memiliki dasar atau nilai yang mendasari (underlying asset). Prinsip utamanya adalah bahwa melisting sebuah ICO yang sedang hype dengan volume perdagangan yang besar dapat mendatangkan keuntungan yang berlipat bagi CEX. CEX lokal Indonesia, seperti Indodax dan Tokocrypto, juga turut melisting Pepe dalam upaya memanfaatkan momentum tersebut.

Fenomena ini jelas mendatangkan “keuntungan” juga bagi pemerintah, terutama setelah diterapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 68 Tahun 2022 yang mengatur pengenaan pajak transaksi kripto sebesar 0,11%.


Berdasarkan informasi dari situs resmi pajak.go.id, penerimaan pajak dari transaksi kripto telah mencapai Rp875,44 miliar hingga Agustus 2024. Penerimaan tersebut terdiri dari Rp246,45 miliar pada tahun 2022, Rp220,83 miliar pada tahun 2023, dan Rp408,16 miliar pada tahun 2024.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebagian besar ICO memang tidak memiliki underlying asset atau model bisnis inti yang jelas, dan masalah ini semakin diperparah dengan kurangnya transparansi terkait siapa pemilik atau developer dari ICO tersebut. Sebagai contoh, jika kita mencoba mencari tahu siapa pemilik token Pepe atau Shiba Inu, informasi yang valid tentang hal ini sering kali sulit ditemukan. Jika suatu saat developer memiliki niat buruk dan berencana melakukan scam, pihak berwajib akan kesulitan untuk menemukan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum.


Meskipun sering kali developer ICO menyatakan bahwa mereka tidak lagi memiliki kendali atas ICO tersebut karena smart contract telah di-renounce, mekanisme ICO sebenarnya tidak sesederhana itu. Sekadar melakukan renounce tidak menjamin bahwa ICO tersebut akan aman sebagai investasi jangka panjang. Risiko rug pull tetap ada, mengingat developer dan “komplotannya” bisa saja mengendalikan sebagian besar pasokan token, dan ini adalah salah satu praktik yang sering terjadi. Selain itu, masalah seperti insider trading juga dapat memperburuk kondisi.

Kembali pada persoalan delisting beberapa aset kripto, dua fenomena ini memang membuat dilema. Di satu sisi, dengan tetap “membiarkan” ICO diperdagangkan di CEX lokal, pemerintah dapat memperoleh tambahan pendapatan melalui pajak yang dihasilkan dari transaksi tersebut. Namun, di sisi lain, hal ini membawa risiko besar, terutama bagi masyarakat luas yang berinvestasi dalam ICO yang belum jelas dasar atau utilitasnya.


OJK patut diapresiasi dan didukung, karena kebijakan delisting ini dapat memberikan keamanan dan perlindungan bagi masyarakat Indonesia yang berinvestasi di aset kripto. Langkah ini menunjukkan perhatian terhadap risiko besar yang bisa timbul, seperti penipuan atau praktik manipulasi pasar yang dapat merugikan investor. Meskipun kebijakan ini berpotensi mengurangi pendapatan pajak yang bisa diperoleh dari transaksi kripto di pasar lokal, bahkan potensi “income” tersebut dapat beralih ke bursa bursa kripto luar negeri.

Namun keputusan delisting beberapa aset kripto juga menimbulkan polemik, mengingat dari 851 aset yang legal diperdagangkan di CEX lokal, salah satu aset kripto dengan ticker BotX disinyalir merupakan aset yang terkait dengan platform judi. Oleh karena itu, keputusan delisting sebuah aset memang memerlukan pengkajian mendalam, harus jelas tolok ukur, kriteria serta persyaratan yang digunakan dalam proses listing dan delisting sebuah ICO.


Delisting yang dilakukan oleh CEX lokal pada akhirnya “memaksa” trader maupun investor untuk memilih opsi:
1. Menjual asetnya meskipun masih mengalami margin kerugian.
2. Memindahkan asetnya ke private wallet atau CEX luar negeri, yang tentunya memerlukan biaya tambahan (seperti gas fee atau pemotongan sejumlah aset saat pemindahan).

Poin pentingnya adalah bahwa delisting yang terjadi, menurut pendapat kami, tidak akan berpengaruh besar bagi investor, khususnya yang gemar mencari atau berburu ICO. Pasalnya, kebanyakan ICO sebelum terdaftar di CEX lokal maupun luar negeri, biasanya dapat dibeli melalui DEX (Decentralized Exchange), dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan setelah terdaftar di CEX.


Harapan kita bersama ditengah tengah isu negatif yang muncul diatas, tentunya industri kripto Indonesia dapat berkembang seperti Thailand dan Singapura yang bahkan telah mulai mengadopsi kripto kedalam sistem keuangan atau pembayaran mereka. Thailand pada tahun 2025 ini akan memulai program percontohan pembayaran menggunakan mata uang kripto di Phuket. Jika ini terlaksana maka wisatawan asing dapat menggunakan kripto khususnya Bitcoin untuk transaksi di kota wisata tersebut. Kemudian Grab di Singapura pada awal tahun 2024 telah menyediakan layanan top-up saldo menggunakan aset kripto seperti BTC, ETH, XSGD, USDC, dan USDT,

Indonesia sebenarnya pada tahun 2015 pernah menerapkan sistem pembayaran menggunakan bitcoin di Bali, namun karena terkendala regulasi pada akhirnya sistem ini dilarang pemerintah.  


Menarik untuk dilihat dimasa depan, apakah Indonesia akan mengikuti jejak Thailand dan Singapura? tentunya dengan memperhatikan penyesuaian regulasi yang ada serta aspek aspek penting lainnya. (Lukas Abraham Sembiring/Red).
Komentar Anda

Terkini